Kondisi Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Belanda
Zaman Pemerintahan
Kolonial Belanda. Pada awalnya (1596)bangsa Belanda datang ke Indonesia untuk
berdagang, mereka mendirikan VOC (1602). Selain berusaha menguasai daerah untuk
berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Sejak tahun 1800-1942 negeri
kita menjadi jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Karaketristik kondisi sosial
budaya pada zaman ini antara lain: (1) berlangsungnya penjajahan, kolonialisme;
(2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang
dibutuhkan dan laku di pasar dunia; (3) terdapat stratifikasi sosial berdasarkan
ras atau suku bangsa.
Bangsa Indonesia terus
berjuang melawan penjajahan Belanda, perlawanan dan pemberontakan dilakukan
oleh berbagai kelompok bangsa kita di berbagai daerah di tanah air. Penjajahan
yang telah berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa
Indonesia, dan mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan. Dengan semakin
sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal
abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai
pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung dalam jalur politik maupun
pendidikan.
Implikasi dari kondisi di atas, pada zaman
kolonial Belanda secara umum dapat dibedakan dua garis penyelenggaraan pendidikan,
yaitu: pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan
pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum pergerakan sebagai sarana perjuangan
demi mencapai kemerdekaan dan sebagai rintisan pendidikan nasional. Ciri-ciri
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonialisme Belanda yaitu: (1)
Tujuan pendidikannya adalah untuk mengahasilkan tenaga kerja murah dan demi
mendukung kelanggengan penjajahan. (2) adanya dualisme pendidikan, (3) sistem
konkordansi, (4) sentralisasi pengelolaan pendidikan, (5) menghambat gerakan
nasional.[1]
Pendidikan
Indonesia sebelum masa Kolonial.
Komunitas
Paduraksa, sebuah komunitas pemerhati sejarah budaya Indonesia, dalam sebuah
tulisan berjudul "Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia",
mengelompokkan pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya menjadi
tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha,
pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial.
Pada
masa Hindu-Budha, dikatakan di uraian tersebut pula, mengutip dari tesis Agus
Aris Munandar yang berjudul "Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung
Suci di Jawa Timur Abad 14—15 (1990)", pendidikan dikenal dengan istilah
"Karsyan", sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan
untuk orang orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan
mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan sendiri dibagi menjadi dua
bentuk yaitu patapan dan mandala. Di mana patapan adalah tempat
mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk
tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci
untuk para pendeta, murid, dan mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan,
dan pembaktian diri pada agama dan nagara.
Pada
masa Islam, menurut tulisan Komunitas Paduraksa, pendidikan yang ada bisa
dikatakan merupakan adaptasi dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha.
Adaptasi antara sistem mandala dan uzlah (menyendiri) tampak pada
tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan
murid berada dalam satu lingkungan permukiman yang disebut pondok pesantren,
dimana pondok pesantren tersebut biasanya jauh dari keramaian dan terkesan
menyendiri (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990:
310—311).
Pada
pendidikan masa Hindu-Budha dan pendidikan masa Islam, menurut saya tujuan dari
pendidikan adalah untuk mencari jati diri dan tujuan hidup. Pencarian
pengetahuan tentang untuk apa dirinya itu harus hidup. Hal-hal yang diajarkan juga
sebatas pemikiran pemikiran tentang manusia, ilmu-ilmu keagamaan ditambah
ilmu-ilmu perdagangan dan pengolahan alam. Terlihat dari tujuan belajar pada
masa Hindu-Budha, yaitu mencari petunjuk tentang apa yang diinginkan, baik baik
buruknya hingga cara pencapaiannya. Sedangkan saat pendidikan masa Islam, tidak
jauh berbeda dengan sistem mandala dimana merupakan tempat “belajar bersama”,
mempelajari untuk apa manusia hidup, hubungannya dengan Tuhan dan juga hubungan
dengan alam sekitar dan sebagainya.
Pendidikan
Indonesia pada Masa Kolonial.
Saat
Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh
Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan
gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada
saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Usaha Belanda untuk
membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat
muncul kritik dari para kaum humanis Belanda. Sindiran dan kritik para kaum
humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti Max Havelaar (Max Havelaar:
Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, Multatuli, 1860)
sedikit banyak telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis (Ethical
Policy - ‘Ethische Politiek), atau juga dikenal sebagai politik balas
budi, pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada
masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan
tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata
hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah
lulus dari sekolah,
akhirnya mereka
dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di
Indonesia.
Pada
masa ini pula, pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-sekolah
rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat
dikatakan pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda.
Pertama adalah sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan pondok
pesantren, pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah
Hindia-Belanda, dan terakhir pendidikan "swasta pro-pribumi" seperti Taman
Siswa, Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada dasarnya banyak
kemiripan dalam sistem pendidikan ala Hindia-Belanda dan pendidikan yang
disediakan oleh kaum-kaum "pro-pribumi".
Pengaruh
sistem pendidikan Indonesia pada masa kolonial dengan sistem Pendidikan saat ini.
Disebutkan
di atas bahwa pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan
pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa dikatakan sistem
pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan sistem pada saat kolonial.
Yaitu menciptakan manusia yang siap kerja, entah itu menjadi buruh, pegawai
negeri, karyawan rendahan, dan sebagainya. Pendidikan yang diberikanpun tipenya
sama, kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan hanya butuh bisa baca tulis
dan berhitung, saat ini ilmu yang diberikan dalam pendidikan seakan-akan
hanyalah ilmu untuk pengisi kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar.
Sekalinya diberikan pengetahuan yang dapat diterapkan, ilmu tersebut diberikan
dalam bentuk jadi, tidak perlu dipikirkan kembali. Bisa dikatakann pendidikan
Indonesia saat ini seakan-akan hanya memberikan buku pedoman bagaimana harus
bergerak tanpa harus berfikir. Akibatnya, keberadaan kaum-kaum pribumi
Indonesia saat ini juga tidak jauh-jauh dari posisi "pegawai
rendahan" seperti tujuan pemberian pendidikan pada masa kolonial. Salah
satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman bagaimana harus berfikir
yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan berlangsung. Penyebab lainnya
adalah dangkalnya impian yang muncul tentang tujuan dari pendidikan tersebut.
Tersebar secara umum di masyarakat, tujuan pendidikan adalah supaya kelak dapat
bekerja dan mencari uang. Tidak terbersit pemikiran dimana ilmu yang didapatkan
pada saat pendidikan berlangsung tersebut akan dipergunakan. Dan dengan jalan
apa ilmuilmu yang didapat di dalam pendidikan akan berguna nantinya.[2]