Transplantasi Anggota Tubuh
Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah
pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari
seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi
dengan baik milik orang lain. Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut
donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut repisien. Cara ini merupakan
solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan
dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.
Ditinjau
dari segi kondisi donor (pendonor)-nya maka ada tiga keadaan donor:
donor
dalam keadaan hidup sehat;
donor
dalam kedaan sakit (koma) yang diduga kuat akan meninggal segera;
donor
dalam keadaan meninggal.
A.
Transplantasi Organ menurut
UU Kesehatan
Menurut pasal 1 ayat 5 Undang-undang kesehatan,
transplantasi organ adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri
dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh.
Pengertian lain mengenai transplantasi organ adalah berdasarkan UU No. 23 tahun
1992 tentang kesehatan, transplantasi adalah tindakan medis untuk memindahkan
organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau
tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau organ
tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Jika dilihat dari fungsi dan manfaatnya transplantasi organ
dapat dikategorikan sebagai ‘life saving’. Live saving maksudnya adalah dengan
dilakukannya transplantasi diharapkan bisa memperpanjang jangka waktu seseorang
untuk bertahan dari penyakit yang dideritanya.
B.
Sejarah Transplantasi
Tahun 600 SM di India, susruta telah melakukan
transplantasi kulit. Sementara jaman Renaissance, seorang ahli bedah dari
Italia bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama. Diduga
John Hunter (1728-1793) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk bedah
transplantasi. Dia mampu membuat kriteria teknik bedah untuk menghasilkan suatu
jaringan transpalntasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistem golongan
darah dan sistem histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap
transplantasi belum ditemukan. Pada abad ke-20 wiener dan landsteiner menyokong
perkembangan transplantasi dengan menemukan golongan darah sistem ABO dan
system Rhesus. Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam
keberhasilan tindakan transplantasi. Perkembangan teknologi kedokteran terus
meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi. Ilmu transplantasi
modern makin berkembang dengan ditemukannnya metode-metode pencangkokan,
seperti :
a) Pencangkokkan
arteria mammaria interna didalam operasi lintas koroner oleh Dr. George
E.Green.
b) Pencangkokkan
jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun
resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari.
c) Pencangkokkan
sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita parkinson oleh
Dr. Andreas Bjornklund.
Masalah etik dan
moral dalam transplantasi beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha
transplantasi adalah :
• Donor hidup adalah
orang yang memberiakn jaringan / organnya kepada orang lain (resipien). Sebelum
memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko
yang dihadapi
• Jenazah dan donor
mati adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan
sungguh-sungguh untuk memberikan jaringan/ organ tubuhnya kepada orang yang
memerlikan apabila ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan
meninggal secara wajar, dan apabila sebelum meninggal , donor itu sakit, sudah
sejauh mana pertolongan dari dokter yang merawatnya.
• Keluarga donor dan
ahli waris.
Kesepakatan keluarga
donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan
menghindari konflik semaksimal mungkin ataupun tekanan psikis dan emosi di
kemudian hari
• Resipien adalah
orang yang menerima jaringan atau organ orang lain.
• Dokter dan tenaga
pelaksana lain.
Untuk melaksankan
suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat persetujuan dari donor,
resipien maupun keluarga kedua belah pihak.
• Masyarakat
Secara tidak sengaja
masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi.[2]
Pada saat ini
peraturan perundang-undangan yang ada adalah peraturan pemerintah No. 18 tahun
1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi
alat atau jaringan tubuh manusia. Pokok-pokok peraturan tersebut adalah pasal
10 yang berbunyi “Transplantasi alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 2 huruf a
dan huruf b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan /
keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia”.
C.
Transplantasi ditinjau dari
sudut si penerima, dapat dibedakan menjad
1.
Autotransplantasi
Pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam
tubuh orang itu sendiri.
2.
Homotransplantasi
Pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang
ke tubuh orang lain.
3.
Heterotransplantasi
Pemindahan organ atau jaringan dari satu spesies ke spesies
lain.
4. Autograft
Transplantasi jaringan untuk orang yang sama. Kadang-kadang
hal ini dilakukan dengan jaringan surplus, atau jaringan yang dapat
memperbarui, atau jaringan lebih sangat dibutuhkan di tempat lain (contoh
termasuk kulit grafts , ekstraksi vena untuk CABG , dll) Kadang-kadang
autograft dilakukan untuk mengangkat jaringan dan kemudian mengobatinya atau
orang, sebelum mengembalikannya (contoh termasuk batang autograft sel dan
penyimpanan darah sebelum operasi ).
5. Allograft
Allograft adalah suatu transplantasi organ atau jaringan
antara dua non-identik anggota genetis yang sama spesies . Sebagian besar
jaringan manusia dan organ transplantasi yang allografts. Karena perbedaan
genetik antara organ dan penerima, penerima sistem kekebalan tubuh akan
mengidentifikasi organ sebagai benda asing dan berusaha untuk menghancurkannya,
menyebabkan penolakan transplantasi .
6. Isograft
Sebuah subset dari allografts di mana organ atau jaringan
yang ditransplantasikan dari donor ke penerima yang identik secara genetis
(seperti kembar identik ). Isografts dibedakan dari jenis lain transplantasi
karena sementara mereka secara anatomi identik dengan allografts, mereka tidak
memicu respon kekebalan.
7. xenograft dan
xenotransplantation
Transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies yang
lain. Sebuah contoh adalah transplantasi katup jantung babi, yang cukup umum
dan sukses. Contoh lain adalah mencoba-primata (ikan primata non
manusia)-transplantasi Piscine dari pulau kecil (yaitu pankreas pulau jaringan
atau) jaringan.
8. Transplantasi
Split
Kadang-kadang organ almarhum-donor, biasanya hati, dapat
dibagi antara dua penerima, terutama orang dewasa dan seorang anak. Ini bukan
biasanya sebuah pilihan yang diinginkan karena transplantasi organ secara
keseluruhan lebih berhasil.
9. Transplantasi
Domino
Operasi ini biasanya dilakukan pada pasien dengan fibrosis
kistik karena kedua paru-paru perlu diganti dan itu adalah operasi lebih mudah
secara teknis untuk menggantikan jantung dan paru-paru pada waktu yang sama.
Sebagai jantung asli penerima biasanya sehat, dapat dipindahkan ke orang lain
yang membutuhkan transplantasi jantung.
D.
Hukum Tranplantasi Organ
Tubuh dalam Agama Islam
1.
Hukum Transplantasi Organ
Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang
masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
a. Firman Allah dalam Al Quran surah Al
Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam
kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan
ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang
kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu
mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan
sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena
hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang yang
memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu
donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya,
disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash),
maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya,
walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih
hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena
mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada
hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak
berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya,
menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si
donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan
bahaya (kemudharatan) lainnya”.
b. Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ
اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas
menarik kemaslahatan”.
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan
menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara
mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu
melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah.
2. Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan
koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan
segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului
kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat
kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil
organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk
menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa
orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab
ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil,
padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup.
Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan
koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
a. Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar
bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id
al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak
boleh pula membuat madharat pada orang lain”.
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang
dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada
donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
b. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan
penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di
tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri
atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter
dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3. Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal)
yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan
menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan
darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu,
sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi
tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.
Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak
akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada
ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada
izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia
tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih
baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk
kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan
syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan
izin keluarga/ahli waris.
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar
penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung
“Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang
berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi
Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut
beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya
transplantasi organ tubuh, antara lain:
a. Al-Quran surah
Al-Baqarah ayat 195
yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan
dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non
medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan
hidup dan menjadi sehat kembali.
b. Al-Quran surah
Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا
النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan
(seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai
dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c. Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan
agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik”.
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu
perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang
lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama
Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70,
juga menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits
Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti
memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah)
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan
transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi
kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka
hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada
unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.Hal ini didasarkan pada
qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ
أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah
(kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar,
dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.
d. Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله
َلَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat
penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.(HR. Ahmad, Ibnu
Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan
penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula :
“Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka
penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).